HARTA BERSAMA/GONO GINI
Disampaikan
Pada Mata Kuliah Masalah-Masalah Yang Ditangani Oleh Peradilan Agama Semester III
Fakultas Syari'ah Jurusan AAS 20-12-2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini,kehidupan masyarakat sangat sering diwarnai dengan
masalah pertentangan hukum. Khususnya masalah harta bersama atau yang lebih
dikenal dengan istilah ‘gono-gini’ yang dialami oleh suami istri yang
menghadapi perceraian. Masalah ini banyak menyita perhatian berbagai kalangan
terlebih media massa,ulama dan masyarakat pada umumnya terutama artis dan
pejabat yang sering diblow-up oleh
media dan menjadi konsumsi publik. Sesuai dengan latar belakang penulisan
makalah ini, berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta gono-gini itu
diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kitab
undang-Undang hukum Perdata(KUHPer) dan Kompilasi hukum islam (KHI). Pengaturan
harta gono-gini diakui secara hukum termasuk dalam hal pengurusan, penggunaan
dan pembagiannya
Ketentuan harta gono-gini juga diatur dalam hukum islam. Meskipun
secara umum dan mendasar tidak diakuinya pencampuran harta kekayaan suami istri
(Dalam hukum islam), ternyata setelah dianalisis yang tidak bisa dicampur
adalah harta bawaan dan harta perolehan.hal ini sama halnya dengan ketentuan
yang berlaku dalam hukum positif, bahwa kedua macam harta itu harus terpisah
dengan dari harta gono gini itu sendiri. Dalam perspektif hukum islam, harta
gono gini dapat ditelusuri melalui pendekatan qiyas dan ijtihad.
B. Masalah
Harta gono-gini dan perjanjian perkawinan sering luput dari
perhatian masyarakat karena sering menganggap perkawinan adalah suatu yang suci
sehingga tidak etis jika membicarakan masalah harta benda apalagi pembagian
harta bersama selama perkawinan jika suatu saat terjadi perceraian. Masyarakat
menganggap terlalu materialis jika membuat perjanjian perkawinan sebelum atau
saat berlangsungnya pernikahan sehingga apabila pada suatu saat kenyataan
bercerai harus dihadapi akan sangat mengalami kesulitan dalam masalah pembagian
harta yang telah didapatkan oleh kedua belah pihak selama perkawinan. Mereka
bingung dalam pembagiannya, apakah dalam penyelesaian perkara tersebut
menggunakan hukum adat, hukum islam, kompilasi hukum islam,kitab undang-undang
hukum perdata, atau asas-asas hukum lainnya, yang pada kenyataannya tiap hukum
menetapkan peraturan peraturan yang berbeda. Jika dalam hukum adat pembagian
harta bersama adalah 50:50, walaupun pada kenyataannya ada system kekerabatan
yang tidak menggunakan peraturan gono-gini pada saat terjadi perceraian
misalnya system patrilineal, matrilineal, dan beberapa daerah lain. Namun di sisi
lain, peraturan mengenai gono-gini dalam hukum islam dianggap tidak relevan dan
tidak adil karena membagai harta bersama sesuai porsi (peran) masing-masing
dalam keluarga, atau berpihak pada salah satu pihak bersengketa atau
mendiskriminasikan salah satu pihak. Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa
dirinyalah yang berhak mendapatkan jatah harta gono-gini yang lebih besar Oleh
karena itu, Insya Allah kami akan memberikan penjelasan singkat mengenai harta
gono-gini dalam persfektif agama islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFENISI HARTA GONO-GINI
Istilah
“gono-gini”merupakan sebuah istilah hukum yang popular di masyarakat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:330), istilah yang digunakan adalah
“gana-gini”, yang secara hukum artinya, ”Harta yang berhasil dikumpulkan selama
berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri’.
Dalam Kamus Umum Besar
Bahasa Indonesia yang disusun oleh JS Badudu dan SM Zain (1996: 421),
pengertian harta gono-gini juga sama dengan definisi baku dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, yaitu ‘Harta perolehan selama bersuami istri’.
Sebenarnya, istilah
hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan
perundang-undangan di tanah air, baik dalm UU No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum
Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular
dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum
konvensional.
Sedangkan menurut Drs.
Fachtur Rahman (Ilmu Mawaris :42),
memberikan definisi bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami
istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan di mana keduanya
bekerja untuk kepentingan hidup berumahtangga.
Di berbagai daerah di
tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan
pengertian harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan secara beragam dalam
hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta
gono-gini diistilahkan dengan haeruta
sihareukat; di Minangkabau
masih dinamakan harta suarang; di
Sunda digunakan istilah guna-kaya; di
Bali disebut dengan druwe gabro; dan
di Kalimantan digunakan istilah barang
perpantangan
Dengan berjalannya waktu,rupanya istilah “gono-gini” lebih populer
dan dikenal masyarakat, baik digunakan secara akademis, yuridis, maupun dalam
perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya.
B. DASAR HUKUM HARTA
GONO-GINI
Pada dasarnya, tidak
ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta
gono-gini). Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau
tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh hukum islam
dan hukum positif yang berlaku di Negara kita.Percampuran harta kekayaan (harta
gono-gini) berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam
perjanjian perkawinan. Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat ditelusuri
melalui Undang-Undang, hukum islam,hukum adat dan peraturan lain, seperti
berikut:
1. UU perkawinan pasal
35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta
kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai
harta gono-gini.
2. KUHPerdata pasal
119,disebutkan bahwa “sejak saat
dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh
antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan
lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu,selama perkawinan
berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara
suami istri.”
3. KHI pasal 85, disebutkan
bahwa “adanya harta bersama dalam
perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”. Dengan kata lain, KHI
mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
4. KHI pasal 86 ayat 1
dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada
dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan.”
C. HARTA GONO GINI DALAM
HUKUM ISLAM
Konsep harta gono gini
beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fiqih (hukum
Islam) klasik, Fikih Islam klasik adalah produk hukum yang dihasilkan oleh
ulama ulama terdahulu sebelum masa modern. Para ulama tersebut mendefenisikan
fiqh islam menurut perspektif yang mereka yakini bahwa itu memang seperti apa
adanya yang diajarkan Rasulullah SAW.Masalah harta gono-gini sesungguhnya
wilayah hukum yang belum disentuh,atau dapat dikatakan sebagai wilayah kajian
hukum”yang belum terpikirkan”(ghair
al-mufakkar fih).Sebab, isu harta gono-gini lebih banyak berkembang dan
urgent untuk dibicarakan pada masa modern. Dalam kajian fiqh islam klasik, isu-isu
yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris. Dua
hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fiqh klasik. Dalam menyoroti
masalah harta benda dalam perkawinan.
Meskipun
demikian,berdasarkan sejumlah analisis yang akan diulas bahwa sesungguhnya
masalah harta gono-gini tetap ada dalam kajian hukum islam.analisis ini
dilakukan melalui pendekatan ijtihad
dan qiyas terhadap produk hukum islam
yang sudah ada sebagai alat perbandingan. Secara umum, hukum islam tidak
melihat adanya harta gono-gini.dengan kata lain, hukum islam pada umumnya lebih
memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang
dihasilkan istri merupakan harta miliknya demikian juga apa yang di hasilkan
suami adalah harta miliknya. Sebagian ahli hukum memandang bahwa hukum islam
mengatur system terpisahnya antara harta suami dan harta istri sepanjang yang
bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian
perkawinan). Ada juga yang mengemukakan bahwa hukum islam memberi hak kepada
masing-masing pasangan, baik suami atau istri,untuk memiliki harta benda secara
perorangan, dan tidak biasa diganggu oleh masing-masing pihak. Suami yang
menerima pemberian, warisan, dan sebagainya, berhak menguasai sepenuhnya harta
yang diterimanya itu, tanpa adanya campur tangan istrinya. Demikian halnya bagi
istri yang menerima pemberian, warisan dan sebagainya berhak menguasai
sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa ada campur tangan suaminya. Dengan
demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi
hak milik masing-masing suami-istri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar