PERBANDINGAN HUKUM
PERDATA, PIDANA DAN HUKUM DAGANG
Oleh: Nurtaufik, S.
Ag
A.
DEFINISI
1.
Definisi Hukum Pidana
Hukum pidana adalah suatu hukum yang mengontrol pelanggaran-pelanggaran
terhadap kepentingan umum, perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan seperti hukuman penjara, kemudian
hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru,
melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum.
2.
Definisi Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah suatu peraturan hukum yang mengatur orang atau badan
hukum yang satu dengan orang atau badan hukum yang lain didalam masyarakat yang
menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
3.
Definisi Hukum Dagang
Hukum Dagang atau hukum Bisnis adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum
yang diadakan untuk mengatur dan menyelesaikan persoalan-persoalan dalam
aktivitas antas manusia di bidang perdagangan (dalam arti trade and commerce).
B. SEJARAH
1.
Hukum Pidana
Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek
van Strafrecht). Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia
pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober
1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan
turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di
negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS
Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi
(penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal
dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas
wilayah Indonesia. Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda
membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada
tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi hukum pidana
nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk
Holland.
Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis
menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana)
yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada
tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda
masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Setelah perginya
Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code
Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha
pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan,
terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang
ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih
lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan
nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon
dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886. Sebelum
negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code
Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia-Belanda sendiri ternyata
pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55
dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa
diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan
dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1873. Dengan demikian, dapat dinyatakan
bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana
bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini
dirasakan Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan
yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun
1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915
yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan
berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918.
2.
Hukum Perdata
Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia
tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek
(atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di
Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi.
Untuk Indonesia yang saat itu masih
bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda
sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis
dengan beberapa penyesuaian.
3. Hukum Dagang
Sejarah hukum dagang Indonesia atas dasar asas “Konkordansi”
(Pasal 131 I. S.), maka berlakulah “ Burgerlijk Wetboek “ dan “Wetboek
van koophandel” di Indonesia (Hindia Belanda) yang diumumkan dengan
publikasi Tgl 30 April 1874, S. 1847-23. KUHD Indonesia hanya turunan belaka
dari “Wetboek van Kopandel” Belanda. Sebelum zaman Romawi disamping
Hukum Perdata para pedagang membutuhkan peraturan-peraturan mengenai
perniagaan, karena perniagaan semakin lama makin berkembang, maka kebutuhan
hukum perniagaan atau hukum perniagaan makin bertambah. Lama kelamaan, hukum
dagang yang pada waktu itu masih merupakan hukum kebiasaan, begitu
banyak sehingga dipandang perlu untuk mengadakann kodifikasi. Kodifikasi hukum
dagang yang pertama dibuat atas perintah Raja Lodewijk XIV di Perancis, yaitu Ordonnance
du Commerce 1673 dan Ordonnance de la Marine 1681.
C.
Sistimatika
1.
Hukum Perdata
Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (BW) Indonesia terdiri dari empat buku sebagai berikut :
a.
Buku I, yang
berjudul ”perihal orang” (van persoonen), memuat hukum perorangan dan hukum
kekeluargaan.
b.
Buku II, yang
berjudul ”perihal benda” (van zaken), memuat hukum benda dan hukum waris.
c.
Buku III, yang
berjudul ”perihal perikatan” (van verbintennisen), memuat hukum harta kekayaan
yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau
pihak-pihak tertentu.
d.
Buku IV, yang
berjudul ”perihal pembuktian dan kadaluarsa” (van bewijs en verjaring), memuat
perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap
hubungan-hubungan hukum.
2.
Hukum Dagang
Sistematika KUHD terdiri dari dua buku sebagi berikut :
a.
Terkodifikasi :
KUHD, KUHPerdata, dan KUHD terdiri dari 2 kitab yaitu
·
tentang dagang
umumnya (10 Bab)
·
tentang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang tertib dalam pelayaran (13 Bab)
catatan : “ menurut stb 1936/276 yang mulai berlaku pada 17 juli 1938,
yang mula berlaku pada tanggal 17 juli1938 , BabI yang berjudul : tentang
pedagang-pedagang dan tentang perbuatan dagang, yang meliputi pasal 2,3,4,5
telah dihapuskan.”
2.
Tidak Terkodifikasi :
·
peraturan tentang
koperasi
·
tentang perusahaan
Negara (UUno.19 / prp 1969
·
UU no. 14 thn. 1965
tentang koperasi
D.
Sumbernya
1.
Sumber Hukum Pidana
di Indonesia
a.
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
b.
Peraturan –
Peraturan Tindak Pidana di luar KUHP, misalnya: UU TIPIKOR, UU Anti Money
Laundering, UU Lingkungan Hidup, UU Anti Trafficking, UU Perlindungan Anak, UU
KDRT, UU Perbankan, UU Anti Terorisme, dll.
Berlakunya KUHP Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : “Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada suatu
perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut
sebelumnya.
Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang merupakan asas
legalitas.
2.
Sumber Hukum Perdata di Indonesia
Sumber Hukum Acara
Perdata yang sekarang masih berlaku di negara Indonesia masih belum
terkodifikasi, sehingga masih tersebar dalam berbagai peraturan-peraturan
perundang-undangan, baik produk kolonial belanda maupun produk lokal nasional
Indonesia.
berdasarkan
ketentuan dalam pasal 5 Undang-Undang Darurat No 1/1951, maka hukum acara
perdata termuat dalam :
a.
HIR (Het Herzine
Indonesische Reglement) dalam Stb. 1848 No 16, Stb.1941 No 44, merupakan
hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah pulau jawa dan madura.
b.
RBg (Rechtsreglement
voor de Buitengewesten) Dalam Stb 1927 No 227 adalah hukum acara perdata yang
berlaku untuk daerah pulau Jawa dan Madura, dengan demikian peraturan hukum
acara perdata bersifat dualistik.
Selain di atas,
Sumber Hukum acara perdata juga ditemukan dalam :
1)
Rv(reglement op de
burgerlijke rechtvordering)
2)
KUH Perdata buku ke
IV tentang pembktian dan daluarsa (pasal 1865-1945)
3)
UU No 20 1947
tentang peradilan Ulangan Jawa dan Madura
4)
UU Darurat No 1 TH
1951
5)
UU No 4/2004
Kekuasaan kehakiman
6)
UU No 1 Tahun 1974
7)
UU no 14 Tahun 1985
Jo UU no 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung
8)
UU No 2 tahun 1986
Jo UU No 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum
9)
UU No 7 Tahun 1989
Jo UU no 3 Tahun 2006 Tentnag Peradilan Agama
10)
Perjanjian
Internasional.
11)
Yurisprudensi.
12)
Doktrin.
13)
Perma (Peraturan
Mahkamah Agung).
a.
Pengaturan Hukum di Dalam Kodifikasi
1)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Ketentuan KUHPerdata yang secara nyata menjadi sumber hukum dagang adalah
Buku III tentang perikatan. Hal itu dapat dimengerti, karena sebagaimana
dikatakan H.M.N Purwosutjipto bahwa hukum dagang adalah hukum yang timbul dalam
lingkup perusahaan. Selain Buku III tersebut, beberapa bagian dari Buku II
KUHPerdata tentang Benda juga merupakan sumber hukum dagang, misalnya Titel XXI
mengenai Hipotik.
2)
Pengaturan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
KUHD yang mulai berlaku di Indoneia pada 1 Mei 1848 terbagi atas dua kitab dan
23 bab. Di dalam KUHD jelas tercantum bahwa implementasi dan pengkhususan dari
cabang-cabang hukum dagang bersumber pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang Isi
pokok daripada KUHD Indonesia adalah:
1)
Kitab pertama berjudul Tentang Dagang Umumnya, yang
memuat 10 bab.
2)
Kitab kedua berjudul Tentang Hak-hak dan
Kewajiban-kewajiban yang Terbit dari Pelayaran, terdiri dari 13 bab.
b.
Pengaturan di Luar Kodifikasi
Sumber-sumber hukum dagang yang terdapat di luar kodifikasi diantaranya
adalah sebagai berikut;
·
UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan terbatas
·
UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
·
UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
E.
AZASNYA
1.
Asas dalam Hukum Acara Pidana
Asas di dalam hukum
acara pidana di Indonesia adalah:
- Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
- Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
- Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
- Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.
2.
Asas dalam Hukum Perdata
Asas Hukum Perdata
yaitu sebagai berikut :
KEP. MARI NO.
1037 K/SIP/1973:
Berdasarkan azas
umum dalam hukum perdata, dalam hal ada dua peraturan yang mengatur hal yang
sama dan memuat ketentuan yang berlainan, maka demi kepastian hukum berlakulah
peraturan yang terbaru, kecuali kalau ditentukan lain dengan undang-undang.
KEP MARI NO.
170 K/SIP/1959: Jual beli yang ditinjau dalam keseluruhan mengandung
ketidak beresan, ialah tidak beres mengenai orang-orang yang menjadi pihak di
dalam perjajinan dan secara materiil tidak meyakinkan adanya persetujuan
kehendak (wilsovereenstemning) yang bebas, haruslah dinyatakan batal.
KEP MARI NO.
698 K/SIP/1969: Jual beli yang objeknya tidak ada adalah tidak sah (i.c.
jual beli mengenai hak erfpacht yang telah gugur).
KEP MARI NO. 539 K/SIP/1973:
Bahwa suatu perjanjian hanya mengikat tentang hal-hal yang diperjanjikan;Bahwa
yang diperjanjikan dalam akte perdamaian No. 162/PDT/1966 itu hanyalah tentang
penyakapan tanah tersebut kepada J. Nengah Badera (Penggugat I) apabila Nang
Djigeh (tergugat I) tidak kuat lagi untuk mengerjakannya; tidak diperjanjikan
bahwa Nang Djigeh dilarang untuk menjual atau memindah-tangankan tanah tersebut
maka penjualan sawah itu dari Nang Djigeh kepada tergugat II, tidaklah
bertentangan dengan putusan perdamaian Pengadilan Negeri tersebut dan tuntutan
penggugat akan pembatalan jual beli itu harus ditolak karena tidak beralasan.
KEP MARI NO.
523 K/SIP/1973: Dalam perkara ini adanya keputusan pidana yang membebaskan
Penggugat untuk kasasi (dibebaskan dari tuduhan penipuan) tidak membebaskannya
dari tanggung jawab secara hukum perdata (dalam rangka perjanjian pembelian
truck)
KEP MARI NO.
1230 K/SIP/1980: Pembeli yang beritikad baik harus mendapat perlindungan
hukum.
KEP MARI NO.
1245 K/SIP/1974: Pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu
perjanjian, tidak dapt didasarkan semata-mata atas kata-kata dalam perjanjian
tersebut. i.c. berdasarkan sifat dari pada bangunan lantai atas (loods)
maka hal ini merupakan suatu "bestending engebruikelijk beding"
terhadap pasal X dari perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I (pasal 1347 jo
pasal 1339 KUHPerdata)
KEP MARI NO. 80 K/SIP/1975:
Perjanjian yang dibuat karena causa yang tidak diperkenankan (onggeoorloofde
oorzaak) addalah tidak sah (i.c. perjanjian balik nama keagenan Pertamina
antara Tergugat dan penggugat).
KEP MARI NO.
38 K/SIP/1961: Terhadap perjanjian yang diadakan antara orang-orang
Indonesia asli, sekalipun barang-barang yang diperjanjikan (i.c rumah dan tanah)
tunduk pada Hukum Barat, haruslah diperlakukan hukum adat.
KEP MARI NO.
212 K/SIP/1953: Putusan Pengadilan tidak hanya mempunyai kekuatan terhadap
pihak yang kalah, tetapi juga terhadap seseorang yang mendapat hak dari pihak
yang kalah itu (rechtverkrijgende).
KEP MARI NO.
145 K/SIP/1967: Dalam hal telah ada putusan Pengadilan yang menetapkan
hubungan hukum antara pihak-pihak yang berperkara, maka apabila salah satu
pihak meninggal, hak-hak dan kewajiban kewajiban hukum yang ditetapkan dalam
putusan Pengadilan beralih kepada ahli warisnya.
KEP MARI NO.
145 K/SIP/1953: Pasal 1342 BW hanya dianggap dilanggar, apabila hakim
menganggap kata-kata dari surat perjanjian adalah terang benderang dan meskipun
demikian, toh menyimpang dari kata-kata tersebut secara penafsiran, sedangkan
in casu ternyata Pengadilan Negeri menganggap kata-kata dalam surat perjanjian
yang bersangkuta tidaklah terang benderang.
Azas azas Dalam Hukum Perdata, antara lain :
a.
Azas Pacta Sunt
Servanda (setiap janji itu mengikat)
b.
Azas Contracts Vrij
heid/party autonomis (kebebasan para pihak untuk berkontrak)
c.
Azas T.e. Goede
Trouw (iktikad baik)
Ke 3 azas tersebut telah dicantumkan dalam bentuk peraturan yang konkrit
yaitu dalam pasal 1338 KUHPerdata, yang berbunyi :
a.
“Semua persetujuan yang
dibuat sesuai dengan UU berlaku sebagai UU bagi para pihak yang membuatnya”.
b.
“Persetujuan tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan ke 2 belah pihak atau karena
alasan-alasan yang ditentukan oleh UU”.
c.
“Persetujuan harus
dengan iktikad baik”.
Jika azas hukum telah dirumuskan secara konkrit dalam bentuk
peraturan/norma hukum maka ia sudah dapat diterapkan secara langsung pada
peristiwanya. Sedangkan azas hukum yang belum konkrit dirumuskan dalam
peraturan/norma hukum maka belum dapat dipergunakan secara langsung pada
peristiwanya.
Prof. Mahadi menyatakan bahwa Azas itu kadang-kadang belum masak untuk
dipakai dalam praktek, contoh : Bezit geedt als Velkomen titel dalam hal barang
bergerak yaitu pada Pasal 1977 KUHPerdata.
Bahwa barang siapa menguasai barang bergerak dia adalah pemilik. Kalau azas
ini begitu saja dipakai dalam praktek maka setiap pencuri arloji adalah
pemilik. Jadi azas itu melindungi pencuri. Supaya azas dapat berlaku dalam
praktek pada azas tadi harus ditambahkan kata-kata “Pada umumnya” sehingga Azas
menjadi berbunyi “Pada umumnya siapa yang menguasai barang bergerak adalah
pemilik”. Umumnya demikian hanya adakalanya seseorang menguasai arloji bukan
pemilik, arloji yang dipakai adalah hasil curian, hasil rampasan (copetan) atau
hasil penipuan. Doktrin dan Yurisprudensi menambahkan pada azas tersebut
kata-kata “dengan iktikad baik” sehingga dalam praktek berbunyi “Barang siapa
menguasai barang bergerak dengan iktikad baik dia dianggap sebagai pemilik”.
Dengan adanya syarat-syarat “iktikad baik” maka pencuri tidak dilindungi
oleh azas tersebut (Prof Mahadi, 1986, hal 12-13).