HUBUNGAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM ISLAM
Oleh: Latifa Mstfda
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Semua orang mengakui adanya hubungan antara Hukum Adat dan Hukum Islam.
Hanya yang diperselisihkan mengenai sejauh mana hubungan itu telah terjadi dan
sejauh mana pula yang mungkin akan terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Untuk ini perlu kita mengetahui bahwa terjadinya hubungan antara Hukum Adat dan
Hukum Islam adalah disebabkan oleh dua hal. Pertama, diterimanya Hukum
Islam itu oleh masyarakat, seperti hukum perkawinan di seluruh Indonesia dan hukum warisan di Aceh. Kedua,
Islam dapat mengakui Hukum Adat itu dengan syarat-syarat tertentu, seperti adat
gono-gini di Jawa, Gunakarya di Sunda, Harta Suarang di Minangkabau, Hareuta
Sihareukat di Aceh. Druwe Gabro di Bali dan Barang Berpantengan di Kalimantan.
Di antara syarat-syarat dapat diterimanya hukum adat oleh Islam ialah:
1.
Adat itu dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan
diakui oleh pendapat umum;
2.
Tidak ada persetujuan lain antara kedua belah pihak;
3.
Tidak bertentangan dengan nash, baik Qur'an maupun
Hadits.
Pandangan bahwa unsur agama memberi pengaruh terhadap perwujudan Hukum Adat
bukanlah pandangan baru sebab menurut Prof. Dr. Mr. Soekanto, dinyatakan
sebagai berikut :
“Jika kita
mnegeluarkan pertanyaan hukum apakah menurut kebenaran, keadaan yang bagian
terbesar terdapat di dalam Hukum Adat, maka jawabannya adalah Hukum Melayu
Polinesia yang asli itu dengan di sana sini sebagai bagian yang sangat kecil
adalah Hukum Agama”.
Demikian pula Prof. Mr. MM. Djojodigoeno mengemukakan batasan yang sama
karena beliau berpandangan sebagai berikut :
“ ... unsur lainnya yang tidak begitu besar artinya atau luas pengaruhnya
ialah unsur-unsur keagamaan , teristimewa unsur-unsur yang dibawa oleh agama Islam,
pengaruh agama Hindu dan Kristen-pun ada juga”.
Dengan demikian sepakat bahwa pengaruh agama terhadap proses terwujudnya
hukum adat sangat bersifat umum dan diakui oleh para pakar hukum adat pada
umumnya.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan Teory Receptio In
Complexu?
2.
Bagaimana pengertian dari Teory Receptie?
3.
Apa definisi dari Teory Receptie Exit
atau A Contrario?
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna “kontak” antara kedua
sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air kita. Hubungannya akrab
dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan
dibeberapa daerah, misalkan ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi : hukum
ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut. Artinya hukum Islam dengan
hukum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan
zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Hubungan demikian terdapat juga di
Minangkabau yang tercermin dalam pepatah : adat dan syara’sanda menyanda
syara’ mengato adat memakai. Makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat
dengan hukum Islam (syara’) erat sekali, saling topang-menopang, karena
sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu
sendiri. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini
adalah cara melaksanakan atau memakai syara’ itu dalam masyarakat. Hubungan
adat dan Islam erat juga di Jawa. Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun
dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama
didaerah pedesaan. Di bawah ini akan dikemukakan teori-teori berlakunya hukum
Islam di Indonesia.
a.
Teori Receptio In Complexu
Berbicara tentang masalah hukum yang berlaku terhadap golongan Bumi Putera,
yaitu hukum adat bangsa Indonesia. Timbullah beberapa teori yaitu: Teori
pertama diketemukan oleh beberapa sarjana Belanda seperti Carel Frederik Hunter
(1799-1859), Salomo Kayzor (1823-1868) dan William Christian Van Berg
(1845-1925). Teori ini menyatukan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah
hukum agamanya masing-masing. Jadi menurut teori ini bahwa hukum tentang
berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku
bagi penduduk asli yang beragam khatolik adalah hukum agamanya, demikian juga
bagi penganut agama lain, teori ini yang dikenal dengan teori receptio in
complexu (RIC).
Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islamberlaku
sejak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika Belanda masih
belum mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku di masyarakat.[2]
Materi teori ini kemudian dimuat dalam pasal 75 RR (Regering Reglement)
tahun 1855. pasal 75 ayat 3 RR berbunyi “oleh hakim Indonesia itu hendaklah
diberlakukan undang-undang agama (Jadsdiensnge Wetten) dan kebiasaan
penduduk Indonesia itu” pada masa teori ini berlaku, kemudian antara lain Stb. 882 No. 152
tentang pembentukan pengadilan agama (Priensterand) di samping pengadilan negeri (landrand). Berdasarkan
pasal 75 dengan mengacu kepada teori RIC hukum waris yang berlaku bagi orang
Islam adalah hukum waris Islam dan menjadi kompetensi (wewenang) peradilan
agama.
Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan
posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya Staatsblaad
No. 152 Tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga
Peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka
dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.[3] hal ini merupakan indikasi kuat diterimanya hukum Islam oleh
pemerintah kolonial Belanda.
Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan
oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1925). Mr. L.W.C. van
den Berg seorang sarjana hukum menegakkan suatu teori tentang hukum adat yang
disebut “teori receptio in complexu”. Inti dari teori ini adalah sebagai
berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum
pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum
agama itu dengan setia”. Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu
memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan
adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang
daripada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal ini dianggapnya sebagai
“perkecualian/penyimpangan” (sesuatu yang sudah diatur sebelumnya atau
kesalahan pengalihan dari jalur yang sudah ada )daripada hukum agama yang telah
“in complexu gerecipieerd” (diterima dalam keseluruhan) itu.[4]
Bukti-bukti teori ini dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan berikut :
Statuta Batavia 1642 menyebutkan bahwa : “sengketa warisan antara orang
pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum
Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari”. Untuk keperluan ini,
D.W Freijer menyusun Compendium (buku ringkasan) mengenai hukum perkawinan dan
kewarisan Islam, yang setelah direvisi dan diseempurnakan para penghulu,
diberlakukan didaerah jajahan VOC. Compendium ini kemudian dikenal dengan Compendium
Freijer.
Menurut ahli hukum Belanda, hukum ini mengikuti agama yang dianut
seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukun Islam-lah yang
berlaku baginya. Dengan adanya teori receptio in Complexu maka hukum
Islam sejajar dengan dengan sistem hukum lainnya. Kondisi tersebut tidak berlangsung
lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan
upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik
ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis.
b.
Teori Receptie
Kecurigaan sementara pejabat pemerintah Hindia Belanda mulai dikemukakan
melalui kritik terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan. Mereka
memperkenalkan het Indische adat rech atau hukum adat Indonesia. Kritik
ini dimulai Cornelis van Vollenhoven (1874-1933). Kemudian dilanjutkan oleh
Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) penasehat pemerintah Hindia Belanda
tentang soal-soal Islam dan anak negeri. Teori Receptie mengatakan bahwa hukum
yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum
Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum
adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.
Sebelum Hurgronje ditunjuk sebagai penasehat, tahun 1859 telah dimulai
politik campur tangan terhadap urusan keagamaan. Gubernur jenderal dibenarkan
mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik para ulama,
bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan. Sebagai kolonialis,
pemerintah Belanda memerlukan Inlandsch Politiek, yakni kebijaksanaan
mengenai pribumi untuk memahami dan menguasai pribumi. Demikian Snouck
Hurgronje menegaskan. Maka, dialah yang oleh Harry J. Benda, disebut sebagai
arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris. Politik ini didasari
oleh suatu anggapan, bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama,
melainkan Islam sebagai doktrin politik.
Kemunculan teori receptie sebenarnya berawal dari keinginan Snouck
Hurgronje agar orang-orang pribumi dari daerah jajahan tidak memegang kuat
ajaran Islam, karena orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum
Islam tidak akan mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat.
Snouck Hurgronje khawatir adanya pengaruh Pan Islamisme yang dipelopori
Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh dan lain-lain. Kekhawatiran Snouck
Hurgronje, telah membuatnya menyusun dan menyampaikan beberapa nasihat kepada
pemerintah Hindia Belanda, dan dikenal dengan Islam policy, yang berisi tiga
pokok pikiran:
1.
Dalam kegiatan agama dalam arti sebenarnya
(bidang ’ubudiah), pemerintah Hindia Belanda memberikan kebebasan secara
jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang Islam dalam melaksanakan ajaran
agamanya.
2.
Dalam lapangan kemasyarakatan (bidang muamalah),
pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat-istiadat dan kebiasaan
rakyat yang berlaku dengan membuka jalan yang dapat menuntun taraf hidup rakyat
jajahan kepada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia
Belanda. Yakni dengan
memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini.
3.
Dalam bidang ketatanegaraan (bidang siyasah),
mencegah tujuan yang dapat membawa atau menghubungkan gerakan pan Islamisme
yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan
menghadapi pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat bangsa Timur.[5]
Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku
hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu
telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini dijadikan alat
oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang
ajaran Islam dan hukum Islam. . Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum
Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah
oleh budaya barat. Ia pun khawatir hembusan Pan Islamisme yang ditiupkan oleh
Jamaluddin Al-Afgani berpengaruh di Indonesia.
Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio,
pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van
Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang
sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75
yang menganjurkan kepada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang
agama.
Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa hukum
Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan dalam pasal 134
ayat 2 dinyatakan:
“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama
orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka
menghendakinya, dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi”.[6]
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum
diterima sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan
Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam
masalah waris (yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya) dan dialihkan ke
Pengadilan Negeri.[7]
Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan
yang menindak-lanjutinya, di samping dirancang untuk melumpuhkan system dan
kelembagaan hukum Islam yang ada, juga secara tidak langsung telah
mengakibatkan perkembangan hukum Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat
ruang gerak hukum adat sangat terbatas tidak seperti hukum Islam, sehingga
dalam kasus-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.
Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran
sebagai rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral
umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran
Islam.
Teori Receptie ini amat berpengaruh bagi perkembangan hukum Islam di
Indonesia serta berkaitan erat dengan pemenggalan wilayah Indonesia ke dalam
sembilan belas wilayah hukum adat. Teori Receptie berlaku hingga tiba di zaman
kemerdekaan Indonesia. Teori Receptie lahir untuk membendung Pan Islamisme.
Ø
STBL 1915 :732 à Januari 1919 à tidak memasukkan
fiqh jinayah dan hukum pidana yang diberlakukan adalah hukum pidana dari
belanda
Ø
Dia berusaha untuk menghancurkan hukum Islam dalam
ketatanegaraan dan politik dengan melarang pengajian dan penguraian Al-Qur’an dan Hadits
dalam bidang tata Negara dan politik
Ø
Bidang ilmu keamalan dipersempit dalam bidang
perkawinan dan pewarisan dan mengupayakan hukum kewarisan tidak dijalankan umat
Islam, caranya:
1.
Mencabut wewenang Recht (pengadilan) agama
untuk memutuskan masalah waris;
2.
Memberi kewenangan masalah waris pada Land Recht
(pengadilan negri);
3.
Melarang penyelesaian dengan hukum Islam apabila di
kasus atau di tempat tersebut ada hukum adat.
c.
Teori Receptie Exit atau A Contrario
Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Prof. Dr.
Hazairin, S.H.[7] Menurutnya setelah Indonesia merdeka,
tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945
dijadikan Undang-Undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan
perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan
dengan jiwa UUD 1945. Dengan demikian, teori receptie itu harus exit alias
keluar dari tata hukum Indonesia merdeka.
Teori Receptie bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Sunnah. Secara tegas UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Demikian dinyatakan dalam pasal 29 (1) dan (2).
Penafsiran beliau pada pasal 29 ayat (1) UUD 1945
- Dalam Negara RI tidak boleh terjadi/berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam atau bertentangan dengan kaidah-kaidah Nasrani bagi umat Nasrani atau yang bertentangan dengan kaedah-kaedah agama Hindu Bali bagi orang Bali atau yang bertentangan dengan moral kesusilaan Budha bagi orang-orang Budha
- Negara RI wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat nasrani bagi orang nasrani dan syariat Hindu bali untuk orang Bali, menjalankan Syariah tersebut memerlukan bantuan kekuasaan Negara
- Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk melaksanakannya dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi orang itu yang dijalankan sendiri menurut Agamanya Masing-masing.
Teory Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh
Sayuti Thalib, S.H. dengan memperkenalkan Teory Receptie A
Contrario. Teory Receptie A Contrario yang secara harfiah berarti lawan dari Teory Receptie menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam
kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.
Dengan demikian, dalam Teory Receptie A Contrario, hukum adat itu baru berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum Islam.[8]
Kalau Teory Receptie mendahulukan berlakunya hukum adat daripada hukum Islam, maka Teory Receptie A Contrario sebaliknya. Dalam Teory Receptie, hukum Islam tidak dapat diberlakukan jika
bertentangan dengan hukum adat. Teory Receptie A Contrario mendahulukan berlakunya hukum Islam daripada hukum
adat, karena hukum adat baru dapat dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Setelah lahirnya Teory Receptio a Contrario yang memberlakukan hukum kebalikan dari Receptio,
yakni bahwa hukum adat itu baru dapat diberlakukan jika tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka hukum Islam jadi
memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Teori Receptio In
Complexu merupakan teori
menyatukan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya
masing-masing. Jadi menurut teori ini bahwa hukum tentang berlaku bagi pribumi
yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli
yang beragam khatolik adalah hukum agamanya, demikian juga bagi penganut agama
lain.
2. Teory Receptie merupakan hukum yang berlaku bagi orang Islam
adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah
diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya
hukum Islam.
3. Teory Receptie A
Contrario merupakan teori
yang memberlakukan hukum Islam daripada hukum adat, karena hukum adat baru
dapat dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Hazairin, Hendak
ke Mana Hukum Islam, Jakarta: Tinta Mas, 1976.
Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, dalam Amrullah
Ahmad (editor). Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press. 1996
Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik
Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia, dalam
Tjua Suryaman, Politik Hukum di Indonesia, Perkembangan dan
Pembentukannya, Cet. Pertama. Bandung: Raja Rosdakarya, 1991
Noto Susanto, Organisasi
dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Gajah Mada, 1963
Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam dalam kontroversi
pemikiran Islam di Indonesia, Bandung:
Rosdakarya, 1990
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas
Hukum Adat, Jakarta : CV Haji Masagung
Tolib Setiady, Intisari
Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Alfabeta, 2009).
[3] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik
Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia, dalam
Tjua Suryaman, Politik Hukum di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya,
(Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[7] Notosusanto, Organisasi
dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[8] Pada tahun 50-an
menjadi penggagas pertama fiqhi Indonesia menjadi Mazhab Nasional, Lihat:
Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar