BAHASA

PENDIDIKAN

Selasa, 25 Desember 2012

SHALAT JAMA’ DAN QASHAR

SHALAT JAMA’ DAN QASHAR
Oleh:
Nurtaufik, S. Ag. *)

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena atas Hidayah, Karunia serta limpahan Rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sebagai mana mestinya. Makalah yang berjudul “SHALAT JAMA’ DAN QASHAR” ini disusun untuk disampaikan pada mata kuliah Tafsir Ahkam I di STAI ALMAWA Kabupaten Way Kanan untuk Mahasiswa Jurusan Syari’ah PRODI AAS.
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maksudnya, Islam adalah agama yang sesuai dengan kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Pada keadaan normal, berlaku hukum ‘azimah (ketat). Dan pada keadaan tidak normal, maka Islam mengakomodirnya dengan rukhsah (keringanan/ kemudahan) sehingga syariat tetap dapat ditunaikan.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah:185)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama. Bila ada yang memiliki udzur, maka tetap wajib mendirikan shalat dengan mengambil rukhshah (keringanan dari Allah) agar mereka tetap shalat di saat kondisi apa pun. Dan sudah seharusnya kita mengetahui bagaimana Allah telah memudahkan hamba-Nya yang tidak bisa shalat seperti biasanya dengan menggunakan Jama’ dan Qashar. Menjama’ dan mengqasar shalat adalah rukhshah atau keringanan yang diberikan Allah kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan. Rukhshah ini merupakan shodakoh dari Allah SWT yang dianjurkan untuk diterima dengan penuh ketawadlu’an. Melalui makalah ini penyusun mencoba untuk menguraikan tentang sholat jama’ dan qashar.
Makalah ini tersusun dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan, oleh karenanya kritik saran serta masukan yang sifatnya membangun sangat diharapkan sebagai bahan perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan pencerahan kepada umat Islam dalam beribadah kepada Allah SWT. Jazakumullahu Khairan Katsiran.
Way Kanan, 26 Desember 2012

Penyusun
*) staf Pengajar di STAI ALMAWA


SHALAT JAMA’ DAN QASHAR
A.        SHALAT JAMA’
1.            SHALAT YANG BOLEH DIJAMA’
Shalat wajib sehari semalam ada lima, terdiri dari 17 raka’at, 17 ruku dan 34 sujud, dari jumlah masih bisa ditambah lagi dengan shalat sunnah lainnya. Dari lima waktu Shalat wajid di atas yang boleh dijama’ hanya shalat Dzuhur dan ‘Ashar, lalu Maghrib dan ‘Isya’. Sedangkan shalat yang tidak boleh dijama’ adalah Shubuh.
2.            JENIS SHALAT JAMA’
Pelaksanaan shalat jama’ dapat dilakukan dengan 2 cara:
a)            Jama’ Taqdim
Jama’ taqdim adalah mengumpulkan atau menyatukan shalat Dzuhur dan ‘Ashar pada waktu Dzuhur (shalat ‘Ashar dikerjakan pada waktu shalat Dzuhur), dan menyatukan shalat maghrib dan ‘Isya’ pada waktu Maghrib (shalat ‘Isya’ dikerjakan ada waktu shalat Maghrib)
b)            Jama Ta’khir
Jama’ ta’khir adalah mengumpulkan atau menyatukan shalat ‘Ashar dan Dzuhur pada waktu ‘Ashar (shalat Dzuhur dikerjakan pada waktu shalat ‘Ashar), dan menyatukan shalat ‘Isya’ dan Maghrib pada waktu ‘Isya’ (shalat Maghrib dikerjakan ada waktu shalat ‘Isya’)
3.            SEBAB BOLEHNYA JAMA’
Seseorang diperbolehkan menjama’ shalat wajib pada saat-saat tertentu dan karena sebab-sebab tertentu, dan di antara Asbaabut Takhfif (sebab-sebab keringanan). Adapun bentuk Rukhshah dalam safar yaitu menjama' shalat.
a)            Safar (Bepergian)
Bagi orang yang sedang atau akan bepergian, baik masih di rumah (tempat tinggal) atau dalam perjalanan, dan atau sudah sampai di tujuaan, dibolehkan menjama’ shalat, baik dilakukan secara jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir sama saja, dan selama berada ditempat yang dituju tetap boleh menjama’ shalat dengan syarat tidak berniat untuk menetap di tempat itu. Seperti yang dilakukan oleh Rasul SAW.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di tengah perjalanan dan menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)
b)            Hujan
Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan sangat lebat, maka dibolehkan menjama’ shalat Maghrib dengan ‘Isya’, Dzuhur dan ‘Ashar,
النبي صلى الله عليه وسلم جـمع بين الـمغرب والعشاء في ليلة مطيرة
“Nabi saw pernah menjama’ antara sholat Maghrib dan Isya pada suatu malam yang diguyur hujan lebat.” (HR. Bukhari).
c)             Sakit
Sakit merupakan cobaan dan ujian manusia, dan apabila seseorang sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-dosanya, sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’, karena bagi orang yang sakit diperbolehkan menjama’ shalat, karena bagi orang yang sakit rasa kesulitan untuk melakukan shalat, lebih susah dibandingkan dalam keadaan hujan, kasus lain misalnya wanita yang sedang istihadhah (yang darahnya keluar secara terus menerus) sehingga kesulitan untuk terus menerus berwudhu’, maka bagi mereka dibolehkan untuk menjama’ shalat.
Berdasarkan beberapa kasus di atas. Maka imam Ahmad, al-Qadhi Husen, al-Khath-thabi dan Mutawalli dari golongan Imam Syafiiyah, membolehkan orang yang sedang sakit untuk menjama’ shalatnya, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir, karena kesulitan sakit lebih berat dari pada karena hujan.
فإن قويت على أن تؤخّري الظّهر وتعجّلي العصر ثمّ ثغتسلين حين تطهرين وتصلّين الظهر والعصر جميعًاً ثمّ تؤخرين المغرب وتعجّلين العشاء ثمّ تغتسلين وتجمعين بين الصلاتين فافعلي
“ Jika engkau mampu mengakhirkan shalat dzuhur dan menyegerakan shalat ashar, kemudian engkau mandi setelah bersuci, dan engkau menggabungkan shalat dzuhur dan shalat ashar, kemudian engkau mengakhirkan sholat maghrib dan menyegerakan shalat isya, kemudian engkau mandi dan menggabungkan diantara dua shalat, maka lakukanlah“
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين والخطابي والمتولي من الشافعية إلى جواز الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه أشد من المطر. قال النووي: وهو قوي في الدليل.
“Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu kuat.” (al-Mughni;2:120, Fiqhus Sunnah;2:230)
d)            Takut
Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap orang, akan yang dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin misalnya, hati dan jiwa seseorang merasa terancam apabila melakukan aktivitas (kegiatan) di luar, atau takut karena sesuatu yang mengancam seperti kalau akan terkena bencana alam dan lain sebagainya.
عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ. رواه مسلم
“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.”(HR. Muslim)
e)             Keperluan (kepentingan) Mendesak
Dalam banyak kejadian di masyarakat, kadang kalanya karena sibuk dengan beberapa keperluan, kepentingan, mereka melupakan shalat yang telah menjadi kewajiban bagi setiap muslim beriman. Oleh karena itu Imam Nawawi dalam kitab syarah Muslim mengatakan: dari beberapa imam membolehkan menjama’ shalat bagi orang yang tidak dalam safar, jika ada kepentingan yang mendesak, asal hal itu tidak dijadikan kebiasaan dalam hidupnya.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ.
“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah saw shalat dhuhur dan ‘ashar di Madinah secara jama‘, bukan karena takut dan juga bukan dalam perjalanan. Berkata Abu Zubair: saya bertanya kepada Sa’id; Mengapa beliau berbuat demikian? Kemudian ia berkata; Saya bertanya kepada Ibnu’ Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku: Kemudian Ibnu ‘Abbas berkata: Beliau menghendaki agar tidak mernyulitkan seorangpun dari umatnya.(HR. Bukhari – Muslim)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمًا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَبَدَتْ النُّجُومُ وَجَعَلَ النَّاسُ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ قَالَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ لاَ يَفْتُرُ وَلاَ يَنْثَنِي الصَّلَاةَ الصَّلَاة فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتُعَلِّمُنِي بِالسُّنَّةِ لاَ أُمَّ لَكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ فَحَاكَ فِي صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَأَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَسَأَلْتُهُ فَصَدَّقَ مَقَالَتَهُ
“Dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, sehingga manusia berteriak: “shalat .. shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu hendak mengajari saya sunah?”, lalu dia berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq: “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas tersebut.”(HR. Muslim) Ibnu ‘Abbas tidak menjelaskan apakah menyulitkan itu karena sakit, atau sebab-sebab lainnya.
Bahkan tanpa udzur-pun kita dibolehkan menjama’ shalat, kalau hal itu dipandang perlu dan merasa kesulitan.(Tahdzibul Ahkam;juz 2:19)

B.         SHALAT QASHAR
1.            PENGERTIAN
Qashar artinya memendekkan atau meringkas. Shalat qashar maksudnya adalah meringkas jumlah rakaat shalat yang empat menjadi dua; misalnya shalat Dzuhur, ‘Ashar dan ‘Isya’. Hal ini boleh dilakukan berdasarkan firman Allah Swt:
Artinya : “dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qasharsembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” .(QS. An-Nisa’:101)
  1. SAFAR
Dan diantara Asbaabut Takhfif (sebab-sebab keringan) adapun bentuk Rukhshah dalam safar yaitu menjama' shalat. Safar adalah keluar dari daerah kediaman ke tempat lain, dan jarak minimal safar 5 km, dan masih berniat (bermaksud) kembali ke tempat asalnya.
Berdasarkan ayat 101 dan hadits di atas berarti tidak semua keadaan, seseorang dapat mengqashar shalat, hanya diperbolehkan dan dilakukan bagi orang yang melakukan safar (perjalanan) yang kemudian orang itu disebut Musafir.
Dalam ayat ini ada istilah jika kamu khawatir diganggu oleh orang kafir, sementara untuk saat ini gangguan itu sudah tidak ada lagi (aman-aman saja) bagaimana hukum ayat ini apa masih boleh kita melakukan shalat dengan qashar. Kalau demikian hukum pada ayat ini tetap berlaku, sekalipun gangguan itu sudah tidak ada lagi,
عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوامِنْ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ.
“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.” (HR. Jama’ah)
أَمَرَنَا أَنْ نُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah  memerintahkan kami agar shalat dua rakaat dalam safar.”(HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Baihaqi dan Khuzaimah dan rawi yang dipercaya)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ.متفق عليه
“Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika  berangkat dalam bepergiannya sebelum terdelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu shalat ‘ashar; kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjama’ dua shalat tersebut. Apabila sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dhuhur terlebih  dahulu kemudian naik kendaraan.” (HR. Muttafaqun 'Alaih)
  1. JARAK BOLEHNYA QASHAR
Firman Allah dan hadits shahih di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa setiap pebergian bisa mengqashar shalat. Dan tidak ada hadits shahih dari Nabi Saw yang menerangkan adanya jarak minimal mengqashar shalat.
Ada riwayat yang mengatakan dari shahabat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw mengqashar shalat dalam perjalanan yang berukuran 3 mil atau 1 farsakh.
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيْدِ اْلهَنَائِيّ قَالَ: سَأَلْتُ اَنَسًا عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ فَقَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلاَثَةِ اَمْيَالٍ اَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى َكْعَتَيْنِ
“Dari Syu’bah dari Yahya bin Yazid Al-Hanaiy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat, lalu ia menjawab, “Adalah Rasulullah SAW apabila bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh, maka beliau shalat dua reka’at”. (Syu’bah ragu, tiga mil atau tiga farsakh” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi)
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَافَرَ فَرَاسَخًا يُقَصِّرُ الصَّلاَة
“Adapun Rasulullah SAW bila bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar Shalat”(HR. Sa’id bin Manshur. Dan disebutkan oleh Hafidz dalam at-Talkhish, ia mendiamkan adanya hadits ini, sebagai tanda mengakuinya)
Lahiriyah hadits ini, berhubungan dengan qashar, dan setiap orang yang boleh mengqashar shalat berarti boleh menjama’nya, artinya dalil ini adalah dalil shalat jama’ dan qashar.
Ibnu Hazm dalam al-Mahalla5:20. mengatakan bahwa jarak minimal boleh mengqashar shalat adalah 1 mil.
Catatan:
Satu mil = 1609 meter
Tiga mil = 4827 meter
Jadi 1 Farskh = 3 mil, 3 mil ± 5 km
Jama’ taqdim itu dilakukan ketika safar, sedangkan safar itu batas minimal 3 mil (± 5 km) artinya jama’ itu sudah dapat dilakukan pada jarak 3 mil dari batas daerah (luar kota), maka dari itu pendapat yang mengatakan harus berjarak 80 km itu tidak dapat dijadikan dasar, karena dasar atau dalil yang ada tidak shahih, jadi kita kembali kepada ketentuan batas minimal yaitu 3 mil yang sudah jelas ada nash shahih yang mendasarinya.
Memang ada riwayat yang menyatakan tidak bolehnya qashar jika kurang dari 4 barid (± 80 km) yaitu;
يَا أَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا الصَّلاَةَ فِى أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ
“Hai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat dalam jarak
kurang dari empat barid, dari Makkah ke Usfan.”
(HR. Daraquthni)
Menurut riyawat di atas, qashar boleh dilakukan setelah mencapai jarak 80 km, demikian juga dengan jama’ taqdim banyak orang yang mengaitkannya dengan qashar, yang boleh dilakukan.
Setelah dilakukan penelitian dari hadits di atas, ternyata DHA’IF, sebab dalam sanadnya ada ’ABDUL WAHAB bin MUJAHID, yang oleh al-Hakim dinyatakan bahwa ia biasa meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ (palsu), sementara Sofyan ats-Tsauri mendustakannya, dan dalam Nailul Authar dinyatakan Matruk (ditinggalkan), sedangkan al-Azdi menyatakan tidak halal riwayat darinya, (Tahdzibut Tahdzib VI:453, Talkhishul-habir, Nailul Authar III:235, Irwa’ul Ghalil III:13 No. 565 dan juga dalam Ibanatul Ahkam II:63 No.35).

  1. BATAS WAKTU MUSAFIR
Perjalanan (safar) ada 2 maksud yaitu safar dengan maksud menetap selamanya, ada juga safar hanya sebatas keperluan saja, setelah selesai ia kembali ke daerah asalnya. Dari 2 maksud tersebut, musafir (orang yang sedang melakukan perjalanan) sama-sama boleh mengqashar shalat, hanya saja berbeda dalam batas waktu (lamanya) boleh mengqashar shalat bagi musafir tersebut.
Jika seorang musafir berniat (bermaksud) menetap di suatu tempat, maka ia boleh mengqashar shalat sampai 4 hari, sebagaimana perbuatan Nabi Saw sewaktu ada di Makkah selama 4 hari, beliau mengqashar shalat, selebihnya ia tidak mengqasharnya.
Jika seseorang tidak berniat (bermaksud) menetap dalam artian masih mau kembali lagi ke daerahnya, maka selama menyelesaikan keperluannya itu ia boleh mengqashar shalat,
أَقَامَ النَّبِيُّ تِسعَةَ عَشَرَ يَقصُرُ، فَنَحنُ إِذَا سَافَرنَا تِسعَةَ عَشَرَ قَصَرنَا وَإِن زِدنَا أَتمَمنَا
“Nabi shallallahu alaihi wasallam tinggal di tepat safarnya selama 19 hari sambil mengqashar shalat. Karenanya, jika kami safar selama 19 hari kami mengqashar dan jika lebih maka kami melakukan shalat itmam.”(HR. Bukhari:1080) juga ketika berada di Tabuk selama 20 hari, beliau mengqashar shalat.
  1. MUSAFIR - MUQIM BOLEH BERJAMA’AH
Bagi musafir boleh menjadi imam bagi orang yang muqim, dan dan juga sebaliknya, demikian juga orang shalat wajib boleh bermakmum kepada orang yang shalat sunnah dengan setelah salam wajib melengkapi (menyempurnakan) jumlah raka'atnya. Orang yang muqim harus melengkapi raka'at kekuarangannya. Dan apabila orang musafir bermakmum kepada orang yang muqim, maka harus melengkapi jumlah raka'atnya (tidak boleh qashar) setelah salam baru melanjutkan shalat jama'nya. Contoh: ketika kita mengadakan perjalanan, maka dibolehkan untuk shalat bersama dengan orang-orang yang shalat, artinya tidak harus bersama dengan rombongan.
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ شَهِدْتُ مَعَهُ اْلفَتْحَ، فَاَقَامَ بِمَكَّةَ ثَمَانِيَ عَشَرَةَ لَيْلَةً، لاَ يُصَلّى اِلاَّ رَكْعَتَيْنِ يَقُوْلُ: يَا اَهْلَ اْلبَلَدِ، صَلُّوْا اَرْبَعًا فَاِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ
“Dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata : Aku pernah berperang bersama Nabi SAW, dan aku mengikuti penaklukan (Makkah) bersama beliau, lalu beliau tinggal di Makkah selama delapan belas hari, beliau tidak pernah shalat kecuali dua rekaat, beliau bersabda, “Hai penduduk Makkah, shalatlah empat rekaat, karena kami adalah musafir” (HR. Ahmad:4/430)
كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعاً وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِى الْقَاسِمِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Kami pernah bersama Ibnu ‘Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, “Mengapa jika kami (musafir) shalat di belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan shalat empat raka’at (tanpa diqoshor). Namun ketika kami bersafar, kami melaksanakan shalat dua raka’at (dengan diqoshor)?” Ibnu ‘Abbas pun menjawab, “Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (HR. Ahmad:1/216)
Jadi kepada siapa saja kita bermakmum (sesuai ketentuan syari'at Islam), pada hakikatnya adalah boleh, karena aturan shalat itu sama( nidzamnya sama)
  1. KERINGANAN BAGI MUSAFIR
Keringan diberikan kepada musafir (orang yang bepergian) karena sangat dibutuhkan di antaranya:
  1. Mengqashar shalat (Dzuhur dan 'Ashar, dan 'isya')
  2. Menjama' shalat (Dzuhur dan 'Ashar, dan 'isya')
  3. Tidak puasa siang hari di bulan Ramadhan
  4. Mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan, menghadap sesuai melajunya kendaraan yang tumpanginya
  5. Mengerjakan shalat sunnah sambil berjalan, bagi musafir yang berjalan kaki
  6. Mengusap sepatu (ketika berwudhu' sepatunya tidak dilepas)
  7. Tidak mengapa meninggalkan sunnah rawatib (shalat sunnah yang mengiringi shalat wajib)
  8. Menetapkan pahala amal, yang biasa dilakukan ketika muqim (tidak dalam bepergian)
  1. ALASAN NABI SAW MELAKUKAN JAMA' QASHAR
Shalat jama' dan qashar dalam pelaksanaannya harus di pisah dengan iqamah, artinya setelah selesai melakukan shalat yang pertama, maka harus iqamah untuk shalat berikutnya.
حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ
”Ketika beliau sampai ke Muzdalifah, beliau menjamak shalat Maghrib dan ’Isya dengan sekali adzan dan dua kali iqomah.” (HR. Muslim)


KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa shalat jama’ dan qashar merupakan rukhsah dan dibolehkan dalam bepergian atau keadaan darurat. Prinsipnya selagi manusia mempunyai kesempatan untuk melakukan shalat dan tidak menjadi darurat, selayaknya manusia tidak malu untuk segera melaksanakan shalat seperti biasanya. Menjadi suatu kewajiban bagi yang melaksanakan shalat menjadi suri tauladan bagi yang lain sehingga mengajari yang lainnya. Karena yang demikian adalah dari syi’ar Islam yang mesti dimuliakan.
Bagi yang mendapati kesulitan atau kesukaran dalam tiap kali shalat pada waktunya maka memungkinkan baginya untuk menjama’ shalat. Pemaparan hal itu sudah dikemukakan di atas tetapi dengan syarat tidak menjadi kebiasaan dan rutin dan hal tersebut tidak bermaksud selain untuk memudahkan dan tidak menyulitkan umat. Demikian, meski sering jalan-jalan, dan menempuh perjalanan panjang jangan lupa melaksakan sholat 5 waktu.


REFERENSI/MARAJI’
1.          Agus Hasan Bashari al-Sanuwi, Lc, M.Ag. M. Syu’aib al-Faiz al-Sanuwi Lc, 2006. Riyadus Shalihin Karya Imam Nawawi, takhrij, Syaikh Muhammad Nasirudin al-Albani, Duta Ilmu.

2.          Al-Awaisyah al-Hawasy Husen, 2006. Shalat Khusyu’ Seperti Nabi SAW. Pustaka elBa.
3.          Albani, M. Nasiruddin Syaikh, 2000, Sifat-Sifat Shalat Nabi SAW, Jld I-III, Media Hidayah/kampoeng Sunnah.

4.          As-Sayyid Salim ibnu Abu MAlik Kamal Syaikh 2007. PAnduan Beribadah Khusus Wanita. Al-MAhira, Jakarta_Timur.


5.          Imam al-Mundziri. Mukhtashar Shahih Muslim. Pustaka Amani, Jkt
6.          Imam az-Zabidi. Mukhtashar Shahih Bukhari. Pustaka Amini Jkt
7.          Muanajjid Muhammad, 2005. Kiat-kiat Khusyu’ dalam Shalat. Pustaka al-Kautsar
8.          Sa’id bin ‘Ali bin Wahf, Syaikh al-Qahthan. Shaltul Mu’min, CV. pustaka ibnu katsir
9.          Sabiq Sayyid. Fiqh Sunnah
10.      Husein Ali, Lc. "Menjama' Shalat Tanpa Halangan" Lentera Jakarta 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar