BAHASA

PENDIDIKAN

Rabu, 12 Desember 2012

PACARAN, TA'ARUF DAN KHITBAH/MEMINANG



MAKALAH TENTANG
PACARAN, TA'ARUF DAN KHITBAH/MEMINANG














Disusun Guna Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah         : Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah
Dosen                    : Khoirur Roji'in, Lc
Oleh                      : Lisda Restika
Semester               : III (Tiga)
Jurusan/Prodi      : Syari'ah/AAS


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL-MA’ARIF
KABUPATEN WAY KANAN
TAHUN 2012









KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan Rahmat serta HidayahNya sehingga saya dapat menyesaikan makalah ini, walaupun masih banyak kekurangan dalam beberapa segi baik penulisan, penyusunan maupun isi materi makalah ini. Kemudian saya ucapkan terima kasih pada dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing saya dalam rangka menambah wawasan saya terutama dalam menguasai materi masalah-masalah yang berkaitan dengan fiqih kontemporer (haditsah).
Pacaran merupakan sebuah fenomena global yang sudah ada sejak dulu ini merupakan konsekwensi dari tata pergaulan yang semakin kebablasan yang teradopsi dari budaya barat, yang cenderung mengarah pada sex bebas (free sex), dalam Islam tidak dikenal adanya pacaran atau bahkan meminjam istilah anak-anak muslim sekarang ta'aruf (perkenalan), jika memang ta'aruf setali tiga uang dengan pacaran jelas ini merupakan bagian dari pelarangan agama.
Sedangkan di Islam tidak mengenal pacaran atau ta'aruf, yang dianjurkan dalam Islam hanya "melihat" itu juga dengan syarat-syarat yang ketat, seperti didampingi mahram (kerabat terdekat yang haram dinikahi), tapi bila meminang atau khitbah, ini yang dianjurkan oleh Rasulullah sebelum menikah, agar lebih dahulu mengenal calon pendamping hidupnya tanpa melalui proses pacaran atau ta'aruf. Untuk itulah saya berusaha membahas masalah ketiganya dan hukumnya dalam Islam.
Saya sadar makalah ini masih banyak sekali kekurangan, dari segi isi masih kurang baik penjabaran materinya, dari segi penyusunan kata masih belum sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, dari segi penggunaan  tata bahasanya masih kurang sempurna, oleh karena itu saya mohon kesabaran dosen pembimbing untuk selalu memberikan bimbingan pada saya. Akhirnya saya berkata nashrum minnallah wa fathum qorib.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Way Kanan, Desember  2012


Penyusun








DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………….…………………………………..        i
Kata Pengantar ………………………………………………………………………..        ii
BAB I Pacaran, Ta'aruf dan Khitbah ……………………….…………………..…..        1
BAB II Hukum Pacaran, Ta'aruf dan Khitbah ………………...…………………..         9
BAB III Kesimpulan ……………………………………………………...…………..         6
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………...        18














BAB I
PACARAN, TA'ARUF DAN KHITBAH/MEMINANG
A.    Pengertian Pacaran
Pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.
Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran, namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Ketika hati sudah terkena panah asmara, terjangkit virus cinta, akibatnya...... dahsyat man...... yang diingat cuma si dia, ingin selalu berdua, akan makan inget si dia, waktu tidur mimpi si dia. Bahkan orang yang lagi fall in love itu rela berkorban apa saja demi cinta, rela melakukan apa saja demi cinta, semua dilakukan agar si dia tambah cinta. Sampai akhirnya....... pacaran yuk. Cinta pun tambah terpupuk, hati penuh dengan bunga. Yang gawat lagi, karena ingin membuktikan cinta, bisa buat perut buncit (hamil).
Pacaran merupakan wadah hubungan antara dua insan yang kasmaran / hubungan antara laki-laki dan wanita yang telah dewasa dan bukan mahramnya tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah.
Sebenarnya manusia secara fitrah diberi potensi kehidupan yang sama, yang potensi itu yang kemudian selalu mendorong manusia melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini sendiri bisa kita kenal dalam dua bentuk;
1.      Potensi yang menuntut adanya pemenuhan yang sifatnya pasti, kalau tidak terpenuhi manusia akan binasa. Inilah yang disebut kebutuhan jasmani (haajatul 'udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum, tidur, bernafas, buang hajat dll.
2.      Potensi yang menuntut adanya pemenuhan saja, tapi kalau tidak terpenuhi manusia tidak akan mati, cuma bakal "galau" (tidak tenang) sampai terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan (gharizah).
Kemudian naluri ini dibagi menjadi 3 macam yang penting yaitu :
·         Gharizatul baqa' (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta, cinta pada kedudukan, ingin diakui, dll.
·         Gharizatut tadayyun (naluri untuk mensucikan sesuatu/naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah.
·       Gharizatun nau' (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, teman, saudara, kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.
Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran merupakan bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensyahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), dating (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual dalam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak, namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya.
Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu?
Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran.
Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya:
"Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain:
"Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."[1]
Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut :
"Siapa saja yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atau memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya." [2]
Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang tidak akan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa siapa saja yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah? Dan bagaimana mereka merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai membuka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.[3]
B.     Ta'aruf (Pacaran dalam Perspektif Islam)
Gimana sich sebenarnya pacaran itu, enak tidak ya? Bahaya tidak ya? Apa benar pacaran itu harus kita lakukan kalau mau mencari pasangan hidup kita? Apa memang benar ada pacaran yang Islami itu, dan bagaimana kita menyikapi hal itu?
Kenyataannya, pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran, yang  di dalamnya ada cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan:

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q. S. Al Isra' : 32)[4]
Ta’aruf adalah terminology baru dalam proses hubungan pra nikah yang bertujuan untuk masing-masing pihak memiliki gambaran tentang orang yang akan menikah dengannya. Pada masa kenabian tidak dikenal istilah ta’aruf. Karena pada masa itu orang tua sangat memahami kewajiban mereka untuk menikahkan putra-putri mereka dengan pasangan yang shaleh. Merekalah yang lebih mengenal calon menantunya secar mendalam.Sedangkan pada masa ini peran orang tua dalam menjodohkan anaknya tidak terlalu menonjol.
Ta’aruf dapat dilakukan dengan cara kedua pihak telah memiliki informasi tentang pihak lain baik berupa biodata maupun foto. Selain itu dapat juga pihak laki-laki melihat pihak wanita tanpa sepengetahuannya, sebagaimana mazhab Syafi’i, Maliki, Ahmad dan Jumhur Ulama yang menyatakan kebolehan memandang calon yang akan dikhitbah tanpa sepengetahuannya, maka boleh jadi ia membatalkan maksudnya tanpa menimbulkan ketersinggungan di pihak yang lain.
Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang disabdakan Rasulullah SAW:
"Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).[5]
Langkah selanjutnya dapat dilakukan pertemuan antara kedua belah pihak dengan melibatkan mediator (teman atau kerabat). Tujuannya adalah untuk lebih mengenali jasadiah (bentuk, rupa, penampilan), fikriyah (wawasan) dan nafsiah (sifat, karakter, akhlaq). Juga perlu disampaikan jika memiliki penyakit yang harus diketahui calon pasangannya. Perlu dipahami bahwa ta’aruf tidak memiliki kekuatan legal apapun dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan. Jadi jangan pernah berpikir bahwa setelah ta’aruf berarti anda terikat dengan seseorang. Ta’aruf hanya merupakan jembatan menuju proses selanjutnya yaitu khitbah atau meminang. Ta’aruf juga diperlukan untuk membuka proses komunikasi dengan orang tua kedua belah pihak.
Adapun resep Nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud: 

"Wahai generasi muda, siapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan siapa di antara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu."(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).[6]
Jangan suka mojok atau berduaan di tempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaitan. Seperti sabda Nabi:
"Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaitan menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR. Imam Bukhari Muslim).
Dan untuk para muslimah jangan lupa untuk menutup auratnya agar tidak merangsang para lelaki. Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (Q. S. An Nuur : 31).
Dan juga sabda Nabi:
"Hendaklah kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu."(HR. Thabrany).[7]
Yang perlu diingat bahwa jodoh merupakan qadla' (ketentuan) Allah, yang manusia tidak punya andil menentukan sama sekali, manusia hanya dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Tercantum dalam Al Qur'an:  
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."
 
C.    Khitbah
Khitbah dalam terminology Arab berasal dari kata al khithaab dan al khatb. Artinya pembicaraan dan persoalan. Secara bahasa khitbah berarti pinangan atau permintaan seorang laki-laki kepada perempuan tertentu untuk menikahinya. Sedangkan secara syariat Khitbah berarti lamaran, pinangan atau permintaan secara resmi untuk menikah yang ditujukan kepada seorang perempuan melalui walinya jika ia gadis ataupun secara langsung bila ia janda, baik telah ada kepastian diterimanya maupun belum ada kepastian.
Berdasarkan hadits rasulullah:
"Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).[8]
Khitbah adalah langkah awal menuju pernikahan yang telah disyariatkan, namun belum memiliki kekuatan hukum. Karena khitbah bukanlah akad atau transasksi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses khitbah ini:
1.      Tidak boleh meminang wanita yang sedang dalam pinangan
2.      Tetap memperlakukan laki-laki yang meminang sebagai orang yang bukan mahram karena khitbah tidak berarti membenarkan seseorang untuk berkhalwat.
3.      Diterima dan ditolaknya sebuah pinangan sebaiknya berlandaskan pada Diin.
4.      Dianjurkan untuk membawa hadiah jika akan meminang.
5.      Jangan menggantungkan waktu aqad karena dapat merusak hati anda. Wallahu A'lam bish-Showab.[9]







BAB II
HUKUM PACARAN, TA'ARUF DAN KHITBAH DALAM ISLAM
A.    Hubungan dalam Islam
Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita dibagi menjadi dua, yaitu hubungan mahram dan hubungan nonmahram.
1.      Hubungan mahram adalah seperti yang disebutkan dalam Surah An-Nisa 23, yaitu mahram seorang laki-laki (atau wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak), anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. 
   
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[10]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[11]
Maka, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua wanita yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut.
Uturan untuk mahram sudah jelas, yaitu seorang laki-laki boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan mahramnya, semisal bapak dengan putrinya, kakak laki-laki dengan adiknya yang perempuan, dan seterusnya. Demikian pula, dibolehkan bagi mahramnya untuk tidak berhijab yang seorang laki-laki boleh melihat langsung perempuan yang terhitung mahramnya tanpa hijab ataupun tanpa jilbab (tetapi bukan auratnya), semisal bapak melihat rambut putrinya, atau seorang kakak laki-laki melihat wajah adiknya yang perempuan.
Hubungan yang kedua adalah hubungan nonmahram, yaitu larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan melihat langsung, dan kewajiban berhijab di samping berjilbab, tidak bisa berpergian lebih dari tiga hari dan tidak bisa menjadi walinya. Ada pula aturan yang lain, yaitu jika ingin berbicara dengan nonmahram, maka seorang perempuan harus didampingi oleh mahramnya. Misalnya, seorang siswi SMU yang ingin berbicara dengan temannya yang laki-laki harus ditemani oleh bapaknya atau kakaknya. Dengan demikian, hubungan nonmahram yang melanggar aturan di atas adalah haram dalam Islam. Perhatikan dan renungkanlah uraian berikut ini.
Firman Allah SWT yang artinya, 
   
30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". 31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur: 30;31).[13]
Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan dapat dikatakan terpelihara apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat mengulangi melihat lagi atau mengamat-amati kecantikannya atau kegantengannya.
Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang melihat dengan mendadak, maka jawab Nabi, Palingkanlah pandanganmu itu! (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).[14]
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya, Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin. (Hadis sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas dan Abu Hurairah).[15]
Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua teling zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhazrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisasi) oleh kelamin atau digagalkannya. (HR Bukhari).
Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh. (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).[16]
Al-Hakim meriwayatkan, Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya.[17]
Yang terendah adalah zina hati dengan bernikmat-nikmat karena getaran jiwa yang dekat dengannya, zina mata dengan merasakan sedap memandangnya dan lebih jauh terjerumus ke zina badan dengan, saling bersentuhan, berpegangan, berpelukan, berciuman, dan seterusnya hingga terjadilah persetubuhan.
Ath-Thabarani dan Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, Allah berfirman yang artinya, Penglihatan (melihat wanita) itu sebagai panah iblis yang sangat beracun, maka siapa mengelakkan (meninggalkannya) karena takut pada-Ku, maka Aku menggantikannya dengan iman yang dapat dirasakan manisnya dalam hatinya.[18]
Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan, seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.[19]
Di dalam kitab Dzamm ul Hawa,
Ibnul Jauzi menyebutkan dari Abu al-Hasan al-Waifdz bahwa dia berkata, Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Waidz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda? Dia menjawab, Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad (laki-laki yang berparas cantik) dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, Wahai Habib? Aku menjawab, Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Allah berfirman, Lewatlah Kamu di atas neraka. Maka, aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, Aduh (karena sakitnya). Maka. Dia memanggilku, Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka).
Hal tersebut sebagai gambaran bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan/cantik) saja akan mengalami kesulitan dalam di akhirat kelak.
Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka, aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata, Apa ini? Kedua orang itu berkata, Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina. (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis di ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).[20]
Di dalam kitab Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa
Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a., keduanya berkata, Rasulullah saw. Berkhotbah, siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Siapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Siapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan dibelenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan, siapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda, dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.[21]
Atha al-Khurasaniy berkata, Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas, dan paling bisuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya.
Dari Ghazwan ibn Jarir, dari ayahnya bahwa
Mereka berbicara kepada Ali ibn Abi Thalib mengenai beberapa perbuatan keji. Lantas Ali r.a. berkata kepada mereka, Apakah kalian tahu perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Jalla Syanuhu? Mereka berkata, Wahai Amir al-Mukminin, semua bentuk zina adalah perbuatan keji di sisi Allah. Ali r.a. berkata, Akan tetapi, aku akan memberitahukan kepada kalian sebuah bentuk perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Tabaaraka wa Taala, yaitu seorang hamba berzina dengan istri tetangganya yang muslim. Dengan demikian, dia telah menjadi pezina dan merusak istri seorang lelaki muslim. Kemudian, Ali r.a. berkata lagi, Sesungguhnya akan dikirim kepada manusia sebuah aroma bisuk pada hari kiamat, sehingga semua orang yang baik maupun orang yang buruk merasa tersiksa dengan bau tersebut.
Bahkan, aroma itu melekat di setiap manusia, sehingga ada seseorang yang menyeru untuk memperdengarkan suaranya kepada semua manusia, Apakah kalian tahu, bau apakah yang telah menyiksa penciuman kalian? Mereka menjawab, Demi Allah, kami tidak mengetahuinya. Hanya saja yang paling mengherankan, bau tersebut sampai kepada masing-masing orang dari kita. Lantas suara itu kembali terdengar, Sesungguhnya itu adalah aroma alat kelamin para pezina yang menghadap Allah dengan membawa dosa zina dan belum sempat bertobat dari dosa tersebut.
Bukankah banyak kejadian orang-orang yang berpacaran dan bercinta-cinta dengan orang yang telah berkeluarga? Jadi, pacaran tidak hanya mereka yang masih bujangan dan gadis, tetapi dari uisa akil balig hingga kakek nenek bisa berbuat seperti yang diancam oleh hukuman Allah tersebut di atas.





BAB III
KESIMPULAN
A.    Pacaran
Pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran/hubungan antara laki-laki dan wanita yang telah dewasa dan bukan mahramnya tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah.
B.     Ta’aruf
Ta’aruf adalah terminology baru dalam proses hubungan pra nikah yang bertujuan untuk masing-masing pihak memiliki gambaran tentang orang yang akan menikah dengannya.
C.    Pinangan/Khitbah
Khitbah dalam terminology Arab berasal dari kata al-khithaab dan al-khatb. Artinya pembicaraan dan persoalan. Secara bahasa khitbah berarti pinangan atau permintaan seorang laki-laki kepada perempuan tertentu untuk menikahinya. Sedangkan secara syariat khitbah berarti lamaran, pinangan atau permintaan secara resmi untuk menikah yang ditujukan kepada seorang perempuan melalui walinya jika ia gadis ataupun secara langsung bila ia janda, baik telah ada kepastian diterimanya maupun belum ada kepastian.
D.    Hukumnya
1.      Pacaran hukumnya Haram berdasarkan QS. Al-Isra: 32 dan QS. An-Nur: 30;31
Dan berdasarkan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim.
"Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaitan menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR. Imam Bukhari Muslim).
2.      Hukum Ta'aruf dalam Islam tidak ada dalil yang pasti, tapi jika diartikan untuk mengenal satu sama lain dengan bantuan mahramnya atau diartikan sebagai meminang, maka hukumnya boleh dan dianjurkan berdasarakan pada hadits Rasulullah
"Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).

Jika tidak disamakan dengan pacaran (hukumnya Haram).
3.      Hukum Khitbah/Melamar adalah sunnah (dianjurkan), berdasarkan hadits Rasulullah
"Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud). Waallhu 'alam bishowab.














DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Qur'an Digital
2.      Hadits Web, 05
4.      http://www.alislam.or.id/artikel/arsip/00000028.html





[1] Hadits Web, 05.
[2] Hadits Web, 05.
[4] Al-Qur'an digital
[5] Hadits Web, 05
[6] Hadits Web, 05
[7] Hadits Web, 05
[8] Hadits Web, 05
[9] Dikutip dari http://www.alislam.or.id/artikel/arsip/00000028.html
[10] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
[11] Al-Qur'an Digital
[12] Al-Qur'an Digital
[13] Al-Qur'an Digital
[14] Hadits Web, 05
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20]Ibid
[21] Ibid

1 komentar:

  1. saya mau bertanya

    sejauh mana kebolehan bergaul bagi orang yang telah di pinang atau telah meminang

    BalasHapus